QS: “Karena itu, harus diakui bahwa semakin banyak riwayat yang
disampaikan seseorang, semakin besar potensi kesalahannya dan karena itu
pula kehati-hatian menerima riwayat-riwayat dari Abu Hurairah merupakan
satu keharusan. Disamping itu semua, harus diakui juga bahwa tingkat
kecerdasan dan kemampuan ilmiah, demikian juga pengenalan Abu Hurairah
r.a. menyangkut Nabi saw berada di bawah kemampuan sahabat-sahabat besar
Nabi saw, atau istri Nabi, Aisyah r.a.” (hal. 160).
QS: “Ulama-ulama Syiah juga berkecil hati karena sementara pakar hadits
Ahlusunnah tidak meriwayatkan dari imam-imam mereka. Imam Bukhari,
misalnya, tidak meriwayatkan satu hadits pun dari Ja’far ash-Shadiq,
Imam ke-6 Syiah Imamiyah, padahal hadits-haditsnya cukup banyak
diriwayatkan oleh kelompok Syiah.” (hal. 150).
PPS: “Sejatinya, melancarkan suara-suara miring terhadap sahabat pemuka
hadits sekaliber Abu Hurairah r.a. dengan menggunakan pendekatan apa
pun, tidak akan pernah bisa meruntuhkan reputasi dan kebesaran beliau,
sebab sudah pasti akan bertentangan dengan dalil-dalil hadits, pengakuan
para pemuka sahabat dan pemuka ulama serta realitas sejarah. Jawaban
untuk secuil sentilan terhadap Abu Hurairah r.a. sejatinya telah
dilakukan oleh para ulama secara ilmiah dan rasional. Banyak buku-buku
yang ditulis oleh para ulama khusus untuk membantah tudingan miring
terhadap sahabat senior Nabi saw tersebut, diantaranya adalah al-Burhan
fi Tabri’at Abi Hurairah min al-Buhtan yang ditulis oleh Abdullah bin
Abdul Aziz bin Ali an-Nash, Dr. Al-A’zhami dalam Abu Hurairah fi Dhau’i
Marwiyatih, Muhammad Abu Shuhbah dalam Abu Hurairah fi al-Mizan,
Muhammad ?Ajjaj al-Khatib dengan bukunya Abu Hurairah Riwayat al-Islam
dan lain-lain.”
Dalam Bidayah wa an-Nihayah, Ibn Katsir mengatakan, bahwa Abu Hurairah
r.a. merupakan sahabat yang paling kuat hafalannya, kendati beliau bukan
yang paling utama. Imam Syafii juga menyatakan, “Abu Hurairah r.a.
adalah orang yang memiliki hafalan paling cemarlang dalam meriwayatkan
hadits pada masanya.” (hal. 320-322).
Karena kuatnya bukti-bukti keutamaan Abu Hurairah, maka PPS menegaskan:
“Dengan demikian, maka keagungan, ketekunan, kecerdasan dan daya ingat
Abu Hurairah tidak perlu disangsikan, dan karena itulah posisi beliau di
bidang hadits demikian tinggi tak tertandingi. Yang perlu disangsikan
justru kesangsian terhadap Abu Hurairah r.a. seperti ditulis Dr. Quraish
Shihab: “Karena itu, harus diakui bahwa semakin banyak riwayat yang
disampaikan seseorang, semakin besar potensi kesalahannya dan karena itu
pula kehati-hatian menerima riwayat-riwayat dari Abu Hurairah merupakan
satu keharusan.” (hal. 322).
“Pernyataan seperti yang dilontarkan oleh Dr. Quraish Shihab tersebut
sebetulnya hanya muncul dari asumsi-asumsi tanpa dasar dan tidak
memiliki landasan ilmiah sama sekali. Sebab jelas sekali jika beliau
telah mengabaikan dalil-dalil tentang keutamaan Abu Hurairah dalam
hadits-hadits Nabi saw, data-data sejarah dan penelitian sekaligus
penilaian ulama yang mumpuni di bidangnya (hadits dan sejarah).
Kekurangcakapan Dr. Quraish Shihab di bidang hadits semakin tampak,
ketika beliau justru menjadikan buku Mahmud Abu Rayyah, Adhwa’ ?ala
Sunnah Muhammadiyah, sebagai rujukan dalam upaya menurunkan reputasi Abu
Hurairah r.a. Padahal, semua pakar hadits kontemporer paham betul akan
status dan pemikiran Abu Rayyah dalam hadits.” (hal. 322-323).
Tentang banyaknya hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a., Dr.
al-A’zhami melakukan penelitian, bahwa jumlah 5.000 hadits yang
diriwayatkan Abu Hurairah adalah jika dihitung hadits yang substansinya
diulang-ulang. Jika penghitungan dilakukan dengan mengabaikan
hadits-hadits yang diulang-ulang substansinya, maka hadits dari Abu
Hurairah yang ada dalam Musnad dan Kutub as-Sittah tinggal 1336 saja.
“Nah, kadar ini, kata Ali as-Salus, bisa dihafal oleh pelajar yang tidak
terlalu cerdas dalam waktu kurang dari satu tahun. Bagaimana dengan Abu
Hurairah, yang merupakan bagian dari mu’jizat kenabian?” (hal. 324).
Memang dalam pandangan Syiah, seperti dijelaskan oleh Muhammad Husain
Kasyif al-Ghitha’ (tokoh Syiah kontemporer yang menjadi salah satu
rujukan kaum Syiah masa kini), yang juga dikutip oleh QS: “Syiah tidak
menerima hadits-hadits Nabi saw kecuali yang dianggap sah dari jalur
Ahlul bait. Sementara hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para perawi
semacam Abu Hurairah, Samurah bin Jundub, Amr bin Ash dan sesamanya,
maka dalam pandangan Syiah Imamiyah, mereka tidak memiliki nilai walau
senilai nyamuk sekalipun.” (hal. 313).
PPS juga menjawab tuduhan bahwa Ahlusunnah diskriminatif, karena tidak
mau meriwayatkan hadits dari Imam-imam Syiah. Pernyataan semacam itu
hanyalah suatu prasangka belaka dan tidak didasari penelitian ilmiah apa
pun. Dalam kitab-kitab Ahlusunnah, riwayat-riwayat Ahlul Bait begitu
melimpah. Imam Bukhari memang tidak meriwayatkan hadits dari Imam Ja’far
ash-Shadiq, dengan berbagai alasan, terutama karena banyaknya hadits
palsu yang disandarkan kaum Syiah kepada Ja’far ash-Shadiq. Bukan karena
Imam Bukhari membencinya. Bukhari juga tidak meriwayatkan hadits dari
Imam Syafii dan Ahmad bin Hanbal, bukan karena beliau membenci mereka.
(hal. 324-330).
No comments:
Post a Comment